Seks dan kekuasaan Jawa mempunyai hubungan yang sangat menarik. Pasalnya kedua variable tersebut sangatlah berhubungan menurut beberapa sumber. Masyarakat di zaman milenium, tidak lagi percaya bahwa seks adalah bagian dari simbol kekuasaan dan simbol pusaka sebagaimana Ken Arok yang tergila-gila pada Ken Dedes.
Seks yang dilakukan para pemegang tahta di zaman itu justru disanjung, dipuja serta dilihat sebagai ritual yang penuh mistik, mengingat SDM masyarakat pada waktu itu memang sangat kurang. Artefak Candi Sukuh dan Cetho yang begitu "vulgar" menampilkan alat kelamin yang populer dengan sebutan lingga-yoni sebagai lambang kesuburan, merupakan bukti kuat tentang sisi kemistikan alat kelamin pemegang tahta.
Orang zaman modern, jikalau melihat dua benda di candi tersebut, mungkin akan menilai secara moral nenek moyang kita penggila pornografi. Bahkan, dalam tradisi Mataram Islam era Sultan Agung sampai dinasti Paku Buwono, sosok gaib Ratu Kidul ditempatkan sebagai istri raja. Percumbuan yang konon digelar di Panggung Sangga Buwana untuk memapankan kekuasaan tradisional dan memperoleh pengakuan dari dunia astral.
Pada masa itu, perempuan rela antri dan sabar menanti untuk bisa menemani tidur si pemegang tahta agar mengandung dan melahirkan anak keturunan dari raja. Mereka yang datang dari kelas wong cilik di pedesaan bersemangat untuk mendongkrak status sosial masuk trah darah biru.
Prostitusi
"Jajan" di sembarang tempat merupakan sebuah pantangan bagi seorang raja, karena hal tersebut dapat menurunkan citra dan derajat sang raja di mata masyarakatnya. Seperti dengan apa yang tersirat dalam Serat Nitimani yaitu "Yen sembrana, den prayitna sampun lena, lamun ina, sayek amanggih weda". Artinya adalah apabila ceroboh, waspadalah jangan sampai lengah, sungguh sangat menyakitkan. Kata ceroboh maksudnya adalah dalam konteks "persetubuhan" agar tetap waspada di dalam melakukan hubungan seksual sehingga tidak mengalami hal-hal yang tidak diharapkan.
Oleh karena itu, seorang raja dilarang keluyuran dan bergaul dengan pelacur, penakkan, sundal, wong wedok nakal, ciblek, lonte. Yang pantas menggauli wanita seperti itu hanyalah masyarakat awam. Para penari bedaya yang berada dalam ndalem kaputren senangnya tak kepalang apabila raja menunjuk mereka menjadi selir dan menjadi pemuas kebutuhan biologis raja, hal itu seperti yang dikemukakan oleh hasil penelitian Darsiti Suratman (1989) mengenai kehidupan Istana Kasunanan Surakarta periode Paku Buwono X 1893-1939.
Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah yang tersohor banyak menyimpan gadis cantik nan rupawan. Laporan penelitian Koentjoro (1989) mengidentifikasi terdapat 11 kabupaten di Jawa yang dalam lembaran sejarah terkenal sebagai pemasok perempuan untuk kerajaan. Para perempuan "deso" ini diboyong ke lingkungan istana untuk dijadikan "istri-istri percobaan" bagi raja atau pangeran sampai diperoleh perempuan sederajat yang hendak dinikahi secara resmi oleh golongan darah biru itu.
Istri percobaan ini sewaktu-waktu dapat diusir dari keraton dan mereka tidak berhak mengasuh anak yang dilahirkannya sebagai hasil hubungan dengan pemilik tahta. Sementara dari sisi ketangguhan fisik, mempersunting sedemikian banyak selir berarti mempercepat proses reproduksi kekuasaan raja dan membuktikan adanya kejayaan spiritual. Tidak mengherankan kalau Paku Buwono X semasa hidupnya mempunyai selir berjumlah kurang lebih 40 orang dan empat istri resmi. Tetapi perempuan yang berada di lingkaran kerajaan tidak selalu mujur. Nasib tragis tidak jarang justru menimpa perempuan dari kasta sudra manakala cuma dipakai sebagai alat pemuas nafsu dari keluarga kerajaan atau bangsawan.
Seks adalah bukan barang tabu di dalam lingkungan keraton. Budaya yang memagari estetika seks di lingkungan keratonlah, yang memposisikan seks bukan merupakan sebuah ketabuan. Masa lalu telah meninggalkan pesan bahwa kraton mempunyai sisi epistimologis yang berbeda dengan masyarakat awam, mengenai seks.
(Eko Wahyu Budi/CN32)