Kita sebagai masyarakat jawa pasti tidak asing lagi dengan sebuah budaya lisan. Banyak orang menyebutnya dengan budaya "getok tular". Budaya lisan jawa adalah bagian dari kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun secara lisan sebagai milik bersama. Tradisi lisan Jawa muncul sebagai penyulur sikap, pandangan, refleksi, alat pengesahan aturan sosial, dan sebagainya.
Sifat yang terkandung dalam tradisi lisan Jawa cenderung tak reliable, artinya tradisi lisan itu cendenrung berubah-ubah, tak ajeg, dan rentan perubahan. Selain itu tradisi lesan Jawa biasanya berisi kebenaran terbatas, serta hanya memuat aspek-aspek historis masa lalu.
Dengan kata lain, tradisi lisan akan terjadi apabila ada kesaksian seseorang secara lisan terhadap peristiwa. Kesaksian itu diteruskan orang lain secara lisan pula, sehingga menyebar kemana saja. Keterulangan kesaksian peristiwa inilah yang menciptakan sebuah tradisi lisan.
Tradisi lisan tidak hanya dimiliki oleh orang lisan saja. Implikasi kata “lisan” dalam pasangan lisan-tertulis berbeda dengan lisan-beraksara. Dalam tradisi lisan Jawa, peranan orang yang dituakan seperti sesepuh atau kepala desa sangat penting. Mereka diberi kepercayaan oleh masyarakatnya untuk memelihara dan menjaga tradisi yang diwariskan secara turun temurun.
Satu kelompok masyarakat dengan nilai, norma, tradisi, adat dan budaya yang sama akan mempunyai jejak – jejak masa lampaunya. Dalam masyarakat yang belum mengenal tulisan jejak-jejak masa lampaunya disebarluaskan dan diwariskan secara turun temurun kepada generasi berikutnya secara lisan sehingga menjadi bagian dari tradisi lisan. Pendapat yang menyatakan tradisi lisan lebih tua dibanding tradisi tulis sepertinya tidak keliru. Tradisi lisan Jawa merupakan aktualisasi budaya asli, sebelum orang Jawa kenal tulisan.
Perwujudan tradisi lisan amat beragam, ada yang berupa interaksi lisan, karya-karya estetis lisan, pedoman hidup lisan, dan lain-lain. Tradisi lisan mempunyai keterbatasan jika dihubungkan dengan sisi keilmiahhan. Contohnya "cah cilik ra entuk metu sore-sore, railok". Tradisi seperti itu jika di runtut dengan sisi keilmiahan memang mempunyai keterbatasan. Akan tetapi, budaya tersebut sudah mempunyai posisi tersendiri dalam hati para masyarakat Jawa. Sehingga banyak masyarakat yang mempercayaai hal tersebut.
Akan tetapi yang paling penting dalam tradisi lisan adalah tradisi lisan memerlukan publik atau penikmat yang terlibat. Tradisi lisan memerlukan audiens agar mendengarkan sehingga ada kontak psikologis dan terjadi hubungan antara pencipta dan pendengar dalam satu ruang dan waktu yang kurang lebih sama. Berbeda dengan tradisi tulis yang hubungan antara pencipta dan pendengar tidak harus seruang dan sewaktu.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tradisi lisan cenderung gampang punah dibanding tradisi tulis. Sedangkan tradisi tulis sebagian besar hanya dinikmati untuk dibaca dan diteliti keindahannya. Pengkajian tradisi lisan jauh lebih lama di lapangan, dibanding tradisi tulis yang bisa diakses dari waktu ke waktu. Dokumentasi tradisi lisan masih amat jarang dibanding tradisi tulis.
(eko wahyu budi yanto/CN37)suaramerdeka.com